![]() |
Bokir mengaku dahulu adalah penjudi yang kemudian kembali ke jalur seni. (Foto: Youtube) |
Humoria, Jakarta - “Dunia gepeng semangkin peyot... Orang-orang gede pada morot... Yang kaya semangkin gembrot... Yang lemah makanan mat codot... Moral manusia semangkin melorot...”
Begitulah dialog satire yang diucapkan Bokir bin Djiún dalam film Bangunnya Nyi Roro Kidul (1985), yang dibintangi Suzanna. Dalam film ini, Bokir yang sebelumnya dikenal sebagai seniman topeng Betawi, sukses memerankan dukun palsu. Selain kocak, dialog yang dia sampaikan di film juga menyentil karena mencerminkan kondisi sosial pada saat itu.
Bokir lahir 25 Desember 1923, dari pasangan Djiún dan Mak Kinang. Dia sudah menggeluti seni topeng Betawi sejak usia 13 tahun sebagai pemain kendang dan rebab. Ini terjadi karena Bokir tumbuh kembang mengikuti jejak orang tuanya yang juga aktif di kesenian topeng Betawi.
Dunia Judi Bokir
Harian Kompas edisi 16 Maret 1994 menulis, perjalanan karier Bokir dalam dunia seni tidaklah sepenuhnya mulus. Jauh sebelum dikenal banyak orang, Bokir sempat jatuh miskin karena judi.
“Dulu saya penjudi. Yang namanya dadu koprok dan domino, saya jagonya. Gara-gara judi harta saya ludes," kata Bokir.
Pernah pada suatu malam takbiran, Bokir hanya memiliki celana kolor. Kaos oblong pun tidak punya. Namun dia tetap pergi bermain judi, karena sudah keranjingan. Beruntung, Bokir perlahan bisa bangkit. Dunia gelap perjudian dia tinggalkan dan kembali menekuni dunia hiburan.
Kembali ke Dunia Seni
Bokir kemudian mendirikan kelompok topeng Betawi Setia Warga, pada tahun 1960-an, sekaligus menjadi pemimpinnya. Bersama sejumlah teman, Bokir rutin manggung dari kampung ke kampung. Mereka menerima bayaran seikhlasnya, karena saat itu, kelompok Setia Warga memang belum begitu dikenal.
Setia Warga mulai dikenal masyarakat sebagai kelompok lenong ketika tampil di TVRI pada awal tahun 1970-an. Dari sana, Bokir tidak hanya bermain lenong, tapi juga mulai membintangi berbagai film.
Total ada 50 film yang dibintangi Bokir. Sebut saja Duyung Ajaib (1978), Si Ronda Macan Betawi (1978), dan Betty Bencong Slebor (1978).
Nama Bokir semakin dikenal sebagai pemain peran saat beradu akting dengan Suzanna dalam film Begadang karena Penasaran (1980) hingga Petualangan Cinta Nyi Blorong (1986).
Kuat dalam Celetukan
Dialog macam “Bokir Kecut” sering dilontarkan Suzanna yang sering disandingkan dengan Bokir dalam berbagai film horor kala itu.
“Lah Coba itu...” atau “Kalau boleh tahu, siapa ama Nona” adalah secuil dari ucapan yang sering dilontarkan Bokir dan kemudian menjadi populer karena sering diucapkan masyarakat luas. Banyak orang suka dengan dialek Betawi ini karena diucapkan Bokir dengan khas dan apa adanya.
Sebelumnya, dialek seperti ini memang kerap diucapkan Bokir ketika dirinya mengenalkan Lakon Jantuk dalam seni topeng Betawi. Dahulu, Lakon Jantuk sering dimainkan dalam acara pernikahan, seperti halnya kesenian Palang Pintu dari Betawi.
Jantuk kerap digambarkan dengan sosok pria paruh baya yang memberi nasihat kepada mereka yang hendak menikah. Nasihat yang berisi filosofi hidup, kebijaksanaan, dan kearifan hidup yang disampaikan dengan komedi. Ini membuat Lakon Jantuk menjadi kesenian tutur yang menghibur, tanpa merasa dinasihati.
Bokir juga kerap menyampaikan pantun Betawi dalam berbagai kesempatan. Termasuk ketika menerima rombongan besan dalam sebuah acara pernikahan.
“Srampang Srimping, Temu Dalam Selampe, Siapa Itu Di Samping? Tamu Baru Sampe,” “Ambil Dukdong Dibuat Bale, Saudara Kata Baru Sampe, Duduk Dong Di Bale,”
Selain film, Bokir juga pernah main di sejumlah sinetron, seperti Fatimah, Koboi Kolot, dan Angkot Haji Imron. Kerja kerasnya di dunia membuat Bokir mampu membeli sejumlah mobil mewah dan rumah, serta menunaikan ibadah haji.
Dikenang Menjadi Nama Jalan
Paman dari Mandra, Omas, dan Mastur ini meninggal dunia pada 18 Oktober 2002, di usia 77 tahun. Bokir tidak sadarkan diri di rumahnya di Kampung Setu, Kelurahan Setu, Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur.
Oleh keluarga, Bokir yang mengidap penyakit darah tinggi, kemudian dibawa ke Rumah Sakit Pasar Rebo, Jakarta Timur. Dia dinyatakan meninggal dunia di sana, meninggalkan lima anak dan Sembilan cucu. Jenazahnya kemudian dimakamkan di Pemakaman Kampung Keramat, Cipayung, Jakarta Timur.
Untuk mengenang almarhum, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kemudian mengabadikan nama H. Bokir sebagai salah satu ruas jalan di Ibu Kota, menggantikan nama Jalan Raya Pondok Gede.
(Gading Putri)
Post a Comment